I.
PENDAHULUAN
Dalam tatanan suatu negara,
mahasiswa merupakan aset yang sangat penting dan berharga. Disamping
didengung-dengungkan sebagai agen peruhanan, mahasiswa juga merupakan penopang
moral bangsa. Mahasiswa juga diharapkan menjadi pemimpin masa depan yang masih
bisa menjaga idealisme dalam menjalankan pemerintahan.dari segi akademik,
mahasiswa dituntut dapat melakukan riset-riset, kajian-kajian ilmiah yang dapat
menambah dan memperkaya khasanah keilmuan mereka. Disamping itu, mahasiswa juga
dituntut peka terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul dan berkemabang di
masyarakat baik dari segi sosial maupun politik. Menjaga moral dan idealisme
harus tetap dilakukan demi tegaknya tiang perdamaian di negara ini.
Gerakan mahasiswa (GM) adalah gerakan idealis.
idealismenya sebagaimana yang sering kita dengar adalah sebagai agen perubahan (agent of change) dan agen kontrol sosial (agent of social control). Kedua fungsi ini pada hakekatnya belumlah memadai.
Gerakan Mahasiswa, mengutip dari Rama Pratama (1999), mantan ketua Senat
Mahasiswa UI (kini BEM-UI) dalam tulisannya "Gerakan Mahasiswa dan Civil
Society", haruslah berfungsi sebagai director of change (pengarah perubahan).
Kedua hal di atas harus
dilakoni oleh gerakan mahasiswa. GM harus berperan aktif dalam kelangsungan
nasib bangsa ini. Peran mahasiswa jika kita telusuri sangatlah banyak. Bisa dengan kajian intensif,
diskusi kontemporer serta demonstrasi menentang pemerintah yang kebijakannya
tidak populis. Setelah aksi yang dilakukan berhasil, misalkan penjatuhan rezim,
maka setidaknya sudah ada gambaran format kenegaraan yang ideal untuk
diimplementasikan. GM tidak bisa lagi memberikan blank
check (cek kosong) pada
pemerintah.
Salah satu mitos yang perlu
dtinjau kembali adalah mitos mahasiswa yang diumpakan seperti film koboi Shane.
Cerita ini diangkat oleh Arief Budiman, saudaranya Soe Hok Gie, penulis buku Catatan Seorang Demonstran, karena ada kemiripan secara fungsional. Dalam cerita itu, Shane—yang
diperankan Alan Ladd—berduel dengan kepala bandit yang diperankan oleh Jack
Palance. Dalam pertarungan yang seru itu Shane menang. Setelah
menghabisi sang bandit serta kroni-kroninya, kota menjadi tenang. Melihat aksiShane yang hebat, masyarakat memintanya untuk menjadi
pemimpin di kota yang malang itu. Namun, sang pahlawan tidak menggubrisnya. Ia
memacu kudanya kian kencang. Pergi, karena menolak mendapatkan jabatan dan
balas jasa dari masyarakat. Cerita ini
relevan jika kita kaitkan dengan aksi mahasiswa 1966. Ketika itu banyak aktifis
mahasiswa yang dulunya orator ulung serta jagoan lapangan ditawari jabatan.
Jelas ada yang mengambilnya! Tapi sayang, idealisme mantan mahasiswa itu ada
juga yang kendor. Bahkan tercerabut oleh kekuasaan yang hegemonik. Seharusnya
idealisme itu tetap dijaga, jangan pupus di tengah jalan!
Gerakan mahasiswa tidak
selamanya harus mengikut pada konsep koboi di atas. Sebagai contoh, jika rezim
tiran runtuh, maka menurut frame koboi Shane,
mahasiswa harus kembali ke kampus. Nah bagaimana dengan implementasi agenda
reformasi? Olehnya itu, gerakan mahasiswa harus menjaga dan mengarahkan arah
reformasi. Orientasi
mahasiswa selain sebagai moral force,
juga sebagai political force. GM tidak akan berhasil jika hanya mengandalkan
kekuatan moral. Harus juga dengan kekuatan politik. “Gerakan mahasiswa
harus menjadi gerakan politik!” Demikian kata Andi Rahmat, ketua umum KAMMI
Pusat saat berkuasanya Gus Dur dalam wawancaranya dengan Majalah IslamSabili.
Gerakan politik mahasiswa
tentu beda dengan gerakan politik oportunis. Bagi mahasiswa, kekuasaan itu
hanyalah sarana dan konsekuensi logis untuk perubahan ke depan. Tapi kaum
oportunis, biasanya menggunakan banyak “topeng” untuk meraih kepentingan
sesaat.
Masih ingat kasus Jacob
Nuwawea, orang dekatnya Presiden Mega yang juga Menakertrans yang bagi-bagi
duit ke beberapa mahasiswa untuk aksi anti-militer? Jika itu betul, maka
sesungguhnya, itulah sikap oportunistik sesaat yang memalukan telah dilakukan
segelintir “aktivis gadungan”, mengutip bahasanya teman-teman LMND (Liga Mahasiswa
Nasional untuk Demokrasi).
Politik mahasiswa harus
tetap independen, menjadi oposisi ekstra-parlementer. Tentunya oposisinya yang
konstruktif. Selama ini memang ada image bahwa
oposisi itu acuh tak acuh terhadap pemerintahan. Paradigma ini harus diubah,
bahwa oposisi adalah keniscayaan di era demokrasi. Segala kegiatan yang berkaitan dengan pengambilan
keputusan negara terkait dengan politik. Misalnya saja demonstrasi mahasiswa.
Selain sebagai kekuatan moral, juga sebagai kekuatan politik yang diperhitungkan.
Karena dalam realitanya aksi mahasiswa bersama bersama elemen masyarakat bisa
menurunkan Bung Karno, Soeharto hingga Gus Dur. Ini salah satu gerakan politik
mahasiswa. Artinya bahwa aksi yang lakukan turut berpengaruh terhadap
pengambilan keputusan.
Dengan demikian, selain agent of change dan agent
of social control, gerakan mahasiswa
juga sebagai director of change. Mendapat beban itu, ada sebuah pertanyaan untuk
aktivis mahasiswa. Mampukah gelaran moral yang berat itu dipikul?
Baca Juga :
- Sistem Organisasi
- Manfaat Organisasi
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Mahasiswa
UNIMUS belum begitu peka terhadap persoalan sosial dan politik
B.
Mahasiswa
UNIMUS masih berpandangan bahwa yang terpenting adalah nilai akademik dibanding
kekiatan berorganisasi
C.
Mahasiswa
UNIMUS belum punya jiwa berorganisasi dan idealisme yang kuat
III.
PEMBAHASAN
MASALAH
Dari
beberapa rumusan masalh diatas, dapat dikaji lebih lanjut sebagai berikut :
A.
Mahasiswa
UNIMUS belum peka terhadap persoalan sosial dan politik
Sebagai universitas yang
mayoritas mahasiswanya adalah mahasiswa di bidang kesehatan, tentu tidak
terlepas dengan kegiatan magang, tugas-tugas, kerja laboraturium, kajian jurnal
dan lain sebagainya. Dengan segala kesibukan tersebut terkadang mahasiswa
merasa jenuh dan stress. Tanpa bermaksud mengesampingkan program studi non
kesehatan. Mahasiswa seakan terkurung dalam dunia akademik saja. Perlu adanya
penyeimbang dari semua itu, yaitu dengan mengikuti kegiatan-kegiatan
kemahasiswaan dalam organisasi mahasiswa yang ada di UNIMUS.
Kegiatan semacam itu sangat
bermanfaat, selain sebagai penyeimbang rasa jenuh dalam akademik juga
dimaksudkan untuk membuka wacana mahasiswa terhadap persoalan yang muncul di
masyarakat baik dari segi sosial maupun politik, serta untuk menambah
pengalaman berorganisasi dan interaksi sosial agar tidak canggung ketika sudah
lulus dan harus hidup bermasyarakat.
B.
Mahasiswa
UNIMUS masih berpandangan bahwa yang terpenting adalah nilai akademik dibanding
kekiatan berorganisasi
Sebagai mahasiswa pasti
menginginkan hasil studi yang terbaik. Tidak ada mahasiswa yang tidak menginginkan
nilai akademik bagus. Bahkan untuk mencapai itu harus dilakukan dengan belajar
tanpa henti, lembur, mengerjakan tugas yang menumpuk dan terkadang dalam ujian
ada yang melakukan tindakan tidak terpuji hanya demi mendapat nilai bagus.
Selain menjadi gengsi, nilai tinggi juga menjadi tuntutan dari orang tua yang
mempercayakan kepada anaknya. Karena orang tua juga sudah kerja keras demi bisa
mengirimkan biaya kuliah dan lain-lain. Terkadang semua itu menjadi tekanan
batin yang mengakibatkan mahasiswa stress.
Dengan tugas yang menumpuk dan
laporan yang harus cepat diselesaikan membuat mahasiswa hanya terpaku pada
dunia akademik saja. Hal itu yang membuat mahasiswa UNIMUS kurang peka terhadap
persoalan sosial maupun politik. Misal kenaikan BBM dan kasus korupsi yang
marak diberitakan di media. Hampir di berbagai perguruan tinggi melakukan
penolakan dan aksi terhadap permasalahan tersebut. Tapi mahasiswa di UNIMUS
seakan tak perduli dengan permasalahan itu. Selain karena masih menganggap
nilai akademik yang lebih utama, faktor lain adalah kurangnya wawasan
kebangsaan sosial politik pada mahasiswa
UNIMUS.
C.
Mahasiswa
UNIMUS belum punya jiwa berorganisasi dan idealisme yang kuat
Dari penjelasan poin A dan poin B
dapat kita ketahui bahwa minat berorganisasi dikalangan mahasiswa UNIMUS masih
kurang. Perlu adanya proses penyadaran terkait pentingnya berorganisasi pada
mahasiswa. Hal ini penting karena merupakan modal mereka untuk berinteraksi dan
bermasyarakat. Mahasiswa yang digadang-gadang menjadi agen perubahan dan calon
pemimpin masa depan harus memiliki pengalaman organisasi dan mempunyai
idealisme yang kuat.
Idealisme sangat dibutuhkan oleh
seorang mahasiswa. Untuk menumbuhkan rasa idealisme harus lewat berorganisasi.
Dengan berorganisasi kita jadi mengerti rasanya kebersamaan, mengerti arti
kepemimpinan, dapat menata mental, membangun relasi dan lain sebagainya. Idealisme
harus tetap terjaga jika kita menginginkan tatanan negara yang baik. Banyak
mahasiswa yang kehilangan jati diri dan idealismenya ketika sudah bergelut
dibidang politik atau bergabung di partai politik. Hal itu sangat mungkin
karena dalam politik memang banyak sekali kepentingan yang dapat mengendurkan
idealisme. Dapat kita ketahui bersama dalam pemerintahan sekarang ini, seorang
yang dulunya dianggap mempunyai idealisme yang sangat kuat malah justru
sekarang menjadi koruptor kelas kakap. Seorang yang seharusnya menjadi contoh,
yang dulunya menjadi panglima salah salu organisasi mahasiswa terbesar di
Indonesia justru tidak menggambarkan hal yang terpuji.
IV.
KESIMPULAN
Dari beberapa uraian diatas dapat
diambil kesimpulan bahwa peran mahasiswa terhadap pembangunan negara sangat
pentig. Diperlukan pondasi yang kuat dalam perjalanan menuju tatanan negara
yang baik. Moral dan idelaisme menjadi pondasi yang harus dimiliki seorang
mahasiswa yang nantinya akan menjadi pelopor perubahan dan calon-calon pemimpin
masa depan. Untuk menata moral dan idelaisme memang perlau dilatih melalui
berorganisasi, baik diinternal kampus maupun eksternal. Hal itu dimaksudkan
agar ketika kita menjadi pemimpin suatu saat nanti, kita menjadi pemimpin yang
memang benar-benar dapat dipercaya. Memang susah memberi penyadaran kepada
mahasiswa untuk turut aktif berorganisasi. Tetapi selagi ada niat dan keinginan
kuat pasti ada jalan untuk menuju kebaikan.
V.
PUSTAKA
http://www.kammi.or.id,
http://edukasi.kompasiana.com/2012/02/25/kemerosotan-sikap-idealisme-mahasiswa/
Komentar
Posting Komentar