Sesungguhnya negeri ini adalah surga tanaman yang sangat potensial menghasilkan obat. Bayangkan, dari 40 ribu jenis flora yang tumbuh di dunia, 30 ribu jenis di antaranya tumbuh di sini. "Saking kayanya, sampai-sampai Indonesia disebut megacenter utama keanekaragaman hayati dunia," ujar Sampurno, Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan.
Itu sebabnya, setelah semua kesulitan yang membuat harga obat tak terjangkau, pemerintah terinspirasi untuk mengajak orang kembali ke tanaman obat. `'Kembali ke Alam, Manfaatkan Obat Asli Indonesia'', begitu tema yang diangkat untuk memperingati Hari Kesehatan Nasional, yang jatuh 12 November lalu.
Sayangnya, dari 7.000 jenis tanaman yang telah dibudidayakan di Indonesia, baru 940 yang diketahui berkhasiat sebagai obat dan baru 465 jenis yang dipakai dalam industri obat tradisional dalam negeri. Padahal penemuan obat modern pun berawal dari obat tumbuh-tumbuhan atau dikenal sebagai etnofarmakologi. Karena itulah saat ini pemerintah me- ngampanyekan pemakaian tanaman obat, yang selanjutnya akan dikembangkan menjadi bentuk jamu dan fitofarmaka. Tanaman yang ekstraknya sudah diambil dan diolah menjadi obat fitofarmaka direncanakan akan dimasukkan dalam pelayanan kesehatan formal, sebagai obat yang dijual bebas atau diresepkan.
Saat ini ada beberapa tanaman obat yang sudah lolos uji praklinis, antara lain kunyit, temulawak, daun jambu biji, pisang klutuk, bratawali, pare, dan temugiring. Khasiat temu giring, menurut Sampurno, lebih efektif daripada obat cacing Pirantel Pamoat. Begitu juga dengan tanaman bratawali. "Itu kan pahit sekali. Tapi, dengan ekstraksi, lalu dimasukkan ke dalam kapsul, jadi tidak pahit. Dan ternyata, kalau kita makan itu, nyamuk tidak mau menggigit. Kalau ini dikembangkan lebih lanjut, akan sangat efektif untuk melawan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk," ujar Sampurno.
Yang kini tengah dilakukan para produsen obat di Jawa Barat adalah mengembangkan fitofarmaka untuk penyakit yang tergolong sulit diobati seperti kanker dan malaria. "Tapi itu semua masih dalam tahap penelitian melalui Sentra Penelitian Pengembangan Pengobatan Tradisional (P3T)," tutur Sampurno.
Jika obat tradisional akan dimasukkan ke area pelayanan kesehatan formal, mau tidak mau harus memenuhi kaidah yang ada dalam dunia kedokteran. Artinya, melewati uji empirik dan klinis. Kalau mengikuti metode konvensional secara ketat, bisa makan waktu 15 tahun. "Biayanya pun tidak sedikit," tutur guru besar farmakologi Universitas Indonesia, Sardjono Oerip Santoso. Sebagai gambaran, ia pernah menguji suatu obat untuk melancarkan air susu ibu dan menghabiskan Rp 30 juta. Ongkosnya bisa lebih besar bila yang hendak diuji adalah obat untuk melawan penyakit yang tingkat kompleksitasnya tinggi seperti kanker.
Untuk sampai ke uji klinis biasanya dibutuhkan 8-9 tahun, sedangkan uji klinisnya sendiri bisa makan waktu 3-4 tahun. Karena itu perlu ada terobosan baru. "Nah, di sini kita mengembangkan konsep terobosan fitofarmaka melalui Sentra P3T tadi. Prosesnya jadi bisa dipercepat, mungkin jadi tiga tahun," tutur Sampurno.
Namun jalan panjang bagi obat tradisional agar bisa dipakai dalam pelayanan formal akhirnya bergantung pula pada dokter, apakah mereka bersedia meresepkan atau tidak. Selama ini para dokter dididik menurut kaidah kedokteran Barat dan hanya diperkenalkan pada obat-obatan modern. Akibatnya, mereka masih enggan mempergunakan obat tradisional. "Itu yang kiranya perlu dilakukan bagi dunia kesehatan, paradigmanya harus diubah," kata Tatong Suryanto, Sekjen Pengurus Pusat Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia.
Komentar
Posting Komentar